Peradaban Tauhid

Home » Tuhan » Mempertautkan “IDE-IDE LANGIT” dan “KEPENTINGAN BUMI”

Mempertautkan “IDE-IDE LANGIT” dan “KEPENTINGAN BUMI”

Tantangan yang  paling berat dalam konteks kehidupan beragama saat ini adalah bagaimana membawa ajaran yang  bersemayam pada wilayah normativitas kepada level realitas kehidupan manusia di bumi. Dalam ungkapan lain, bagaiman ajaran atau “pesan-pesan langit” yang  terepresentasi ke dalam “kitab suci” dapat diterjemahkan, baik dalam bentuk pemahaman dan penghayatan maupun dalam aktifitas kemanusiaan yang  konkret. Dalam hubungan ini, W.C. Smith menyoroti bahwa di antara yang  selalu menjadikan problem bagi setiap muslim kapan dan di mana pun mereka berada adalah bagaimana menyesuaikan antara ajaran ideal Islam dan realitas dalam masyarakat.[1] Smith tampaknya mengingatkan kita bahwa tema sentral dalam Alquran seperti perdamaian, keselamatan dan keadilan, mestinya tidak menjadi pesan-pesan yang  utopis dan mandul. Pada sisi lain, agaknya  Smith benar. Ajaran ideal (dalam teks-teks suci ) memang harus dipahami dan dimaknai secara cerdas dan komprehensif, kemudian diterjemahkan secara konkret dan utuh kedalam relitas keberagamaan. Tegasnya, pesan-pesan ilahiah; perdamaian, keselamatan dan keadilan harus menjadi ruh sekaligus energi yang  mengalir dalam nadi kehidupan umat Islam. Jadi, idealitas dan realitas akan terajut erat dan bersinergi secara langgeng.

Kendati demikian, di sisi lain, tesis Smith ini boleh digugat lantaran problema “posisi berhadap-hadapan” antara idealitas dan realitas sangat mungkin menjadi problem agama-agama, jadi ia tidak saja mendera umat Islam.

Salah satu khazanah Islam yang  patut diapresiasi secara kritis adalah bahwa Islam sebagai al-din- melalui al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw.- sejatinya bukan hanya tegak di atas paradigma what is becoming melainkan juga what to become, (bagaimana seharusnya, dan tidak hanya menerima apa danya). [2] Paradigma what is becoming kendati tidak salah sama sekali tetapi ia cenderung dikonstruksi dengan  pendekatan doktriner-tekstual –skriptual. Agama pada posisi ini sangat boleh jadi akan kehilangan energi transformatifnya ketika berhadapan dengan  perkembangan dan dinamika sosio-ekonomi, kultural, dan apalagi sosio-politik yang  niscaya yang  selalu hadir dalam denyut nadi kehidupan empirik. Sementara itu, paradigma what to become – yang  kental nuansa kontekstualnya- akan menyajikan energi dan daya dorong yang  kuat terhadap pergulatan pemikiran yang  konstruktif untuk membedah problem-problem kemanusiaan, sekaligus jalan keluarnya.

Spirit Islam yang  sangat anggun dan enerjik inilah agaknya melecut penulis “menyalakan pelita kecil” untuk menerangi lorong sempit dan pengab, yang  membentang sangat panjang di antara sisi idelitas dan realitas dalam Islam. Untuk kepentingan yang  teramat kompleks, berat, sekaligus menantang ini, penulis berupaya mempersandingkan “dua insan” yang  lahir dari rahim kreatifitas manusia yaitu, teologi dan pendidikan. Kedua aspek ini diduga kuat dapat dijadikan pijakan awal atau titik simpul untuk mengurai benang kusut berbagai problematika kemanusiaan saat ini yang  semakin berat dan ruwet. Teologi boleh disebut sebagai jalan atau instrumen untuk menoropong pesan-pesan ilahiah, sementara pendidikan telah lazim dipahami sebagai “bengkel kemanusiaan” – kalau istilah boleh digunakan.

Teologi, pada tingkat penghayatan individual berpengaruh cukup kuat terhadap perilaku dan spirit keagamaan dalam diri seseorang, baik dalam konteks realitas kemanusiaanya maupun dalam sikap religiusitasnya. Sementara itu, pendidikan merupakan institusi yang  paling akrab dengan  pengembangan dan pembinaan potensi  manusia, sekaligus dianggap paling bertanggungjawab terhadap “hitam-putihnya” moralitas dan martabat manusia.

Dalam hubungan ini, patut dicermati pandangan M. Amin Abdullah bahwa teologi bukanlah agama, melainkan sebagai hasil rumusan akal pemikiran manusia, sesuai dengan  waktu dan situasi sosial yang  ada. Oleh sebab itu, kendatipun sumbernya adalah kitab suci, namun teologi adalah karya manusia yang  fallible (bisa salah). Jadi, rumusan teologi dapat berubah-ubah sesuai dengan  tuntutan dan tantangan zaman.[3] Dengan  demikian, kita boleh mengatakan nyaris tidak ada rumusan teologi yang  absolut dan mapan selamanya.

Pemikiran tersebut dapat dilihat pada kenyataan bahwa paling tidak, sejak dua dekade yang  lalu, umat Islam di Indonesia dihadapkan kembali pada gagasan menghidupkan kembali teologi rasional, sebagai salah satu solusi untuk mengejar keterbelakangan[4] dan posisi subordinat umat Islam. Penganjur gagasan in, Harun Nasution- yang  oleh sebagian orang disebut-sebut sebagai pelopor kebangkitan Neo Mu’tazilah- mensinyalir bahwa keterbelakangan dan keterpurukan umat Islam antara lain akibat belenggu teologi tradisional yang  mereka anut. Corak teologi ini dianggap sangat kental dengan  nuansa Jabariah atau fatalism.[5] Paham inilah yang  diduga kuat telah memasung daya kreatifitas umat Islam, sebagai akibat dari penyerahan hidup secara apa adanya pada nasib baik dan buruk, yang  dianggap telah ditetapkan-Nya.

Di samping itu, muncul pula kesadaran akan perlunya teologi transformatif, baik di Indonesia maupun di bebepa negara seperti Mesir (pengajurnya adalah Hasan Hanafi), Pakistan (penganjurnya Ziaul Haque) dan dari India pengajurnya adalah Ashgar Ali Engineer. Yang  disebutkan terakhir tidak sekedar menganjurkan sebuah teologi transformatif, tetapi lebih dari menghimbau generasi muda Islam untuk merekonstruksi teologi radikal transformatif. Ia menulis artikel Teologi Pembebasan dalam Islam ketika gagasan teologi pembebasan yang  muncul di kalangan gereja Katolik di Amerika Latin ternyata tidak direstui oleh vatikan,. [6]

Teologi pembebasan –secara sistematis- memang muncul pertama kali di kalangan pastor Katolik di Amerika Latin. Kendati demikian, menurut Syafii Ma’arif, Islam sebenarnya mempunyai konsep yang  sangat kokoh dan agung, yaitu konsep tauhid. Dari jantung agama inilah dapat ditangkap dan dikembangkan semangat pembebasan dalam Islam.

Oleh karena itu, teologi pembebasan sebagai  teologi alternatif patut dicermati dan didialogkan secara kritis. Teologi pembebasan memiliki karakteristik yang  dipersyaratkan oleh tantangan globalisasi, yaitu teologi yang dapat menyapa realitas kehidupan  manusia secara kritis, dan terutama sekali karena pemihakannya yang  sangat kental terhadap kepentingan kaum lemah (dhuafa) dan termarjinalkan.[7]

Doktrin teologi pada dasarnya tidak pernah berdiri sendiri. Ia terkait dengan  jaringan institusi  atau lembaga sosial kemasyarakatan. Bahkan, kepentingan  ekonomi, sosial, politik, pertahanan tampaknya selalu menyertai pemikiran teologis yang  sudah mengkristal dalam masyarakat.[8] Dalam hubungan ini eksistensi pendidikan menjadi sangat penting sekaligus krusial, sebab disadari atau tidak, pendidikan sesungguhnya nyaris tidak dapat keluar dari tarikan dua kutub kepentingan teologis, yaitu menjadi institusi  yang  memapankan sesuatu corak teologi, ataukah justru menjadi institusi  yang  mendorong runtuhnya bangunan suatu corak teologi. Pada kutub pertama, pendidikan bisa menjadi instrumen untuk menerjemahkan pesan-pesan teologis pada  level masyarakat luas. Hal ini sejalan dengan  pandangan H.A.R.Gibb bahwa suatu sistem teologi pada umumnya hanya menjadi wacana bagi para pemikir (ahli agama) karena itu sulit dijangkau oleh masyarakat pada level bawah. Dan pada kutub kedua, suatu sistem pendidikan yang  kuat dan compatible akan melahirkan manusia-manusia yang  cerdas, bertanggungjawab sekaligus berani mengkritik dan mendekontruksi pemikiran keberagamaan yang  terkait pada simpul-simpul teologis yang  mapan sekalipun.

Penulis tidak punya selera (sebetulnya yang  paling tepat tak punya daya) untuk mengkonfrontasikan secara berlebih-lebihan tarikan-tarikan kedua kutub tersebut. Bagi penulis, yang  mestinya menggugah dan menghentak kesadaran kultural dan kesadaran historis kita adalah bahwa pendidikan yang  mestinya “membebaskan” dan “memanusiakan manusia”, saat ini cenderung menjadi komoditas dagang. Pintu-pintu sekolah unggulan hanya terbuka bagi orang yang  kaya atau berdompet tebal dan anak-anak pejabat. Sekolah bagi orang kecil, miskin dan pinggiran adalah sekolah murahan, manajemen murahan bahkan mungkin juga kualitasnya murahan. Padahal, kalau kita mau jujur, orang-orang miskin dan terpinggirkan mestinya “dimanusiakan” pada sekolah unggulan. Ujung dari kerancuan dan kesembrawutan ini, apakah entah disadari atau tidak, akan melahirkan –sebetulnya saat ini tinggal memapankan- perbedaaan yang  cukup tajam antara “kelas-kelas” dalam masyarakat; antara kaya dan miskin, pintar dan bodoh, konglemerat dan “konglomelarat” dan sebagainya. Dari kondisi yang  memprihatinkan inilah tampaknya sudah waktunya dibutuhkan racikan formula pemikiran dan model aktifitas pendidikan yang  anti status quo, anti segala bentuk interest atas nam Tuhan, menuju pemikiran dan aksi yang  berpinhak kepad kelompok dhuafa, orang-orang teraniaya dan kelompok yang terampas hak-hakkemanusiaannya.


[1] Peter G. Gowing, “Moros and Khaek: The Position of Muslim Minoritas in the Philippines and Thailand, “ dalam Ahmad Ibrahim (compiled), et all. Reading Islam in Southeast Asia (singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1985), h. 180. Lihat Ahmad M. Sewang, Beberapa Catatan Tentang Penegakan Syari’at Isl;am di Gowa (sebuah tinjauan historis), Makalah Sem MPM PPs IAIN Alauddin Makassar, 2001

[2] Muhammad Imarah, Perang Terminologi Islam Versus Barat (Jakarta: Robbani Press, 1998), h.xv

[3] Lihat, M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Cet. II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999),h.48

[4] Istilah mengejar ketinggalan, dalam kultur progresif, sebetulnya tidak layak digunakan, sebab kita tidak pernah menjadi negara maj. Kita memang bergerak maju, tetapi kemajuan kita terus mengekor pada kemajuan negara lain. Tegasnya, kita tidak pernah sanggup mengungguli negara lain. Tapi, istilah ini hampir selalu meluncur dan terasa akrab ditelinga kita, entah mengapa.

[5] Lihat Djohan Efendi, Memikirkan kembali Asumsi Pemikiran Kita, dalam Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan (Cet. I; Yogyakarta: Lkis, 1993)

[6] Lihat, Ibid.

[7]Lihat, Farid Esack, Membebaskan Yang Tertindas;Al-qur’an, Liberalisme, Pruralisme (Cet. I; Bandung: Mizan, 2000), h. 120

[8] Amin Abdullah, op.cit., h.30


3 Comments

  1. RAHMA BAUSIN says:

    1. Setelah membaca tulisan bapak di atas, saya dapat menambahkan bahwa Islam dengan sumber ajarannya al Qur’an dan al Hadist yang diperkaya oleh penafsiran para ulama ternyata telah menunjukkan dengan jelas dan tinggi terhadap berbagai masalah yang terdapat dalam bidang pendidikan. Karenanya tidak heran ntuk kita katakan bahwa secara epistimologis Islam memilki konsep yang khas tentang pendidikan, yakni pendidikan Islam. Demikian pula pemikiran filsafat Islam yang diwariskan para filosof Muslim sangat kaya dengan bahan-bahan yang dijadikan rujukan guna membangun filsafat pendidikan Islam. Konsep ini segera akan memberikan warna tersendiri terhadap dunia pendidikan jika diterapkan secara konsisten. Namun demikian adanya pandangan tersebut bukan berarti Islam bersikap ekslusif. Rumusan, ide dan gagasan mengenai kependidikan yang dari luar dapat saja diterima oleh Islam apabila mengandung persamaan dalam hal prinsip, atau paling kurang tidak bertentangan. Tugas kita selanjutnya adalah melanjutkan penggalian secara intensif terhadap apa yang telah dilakukan oleh para ahli, karena apa yang dirumuskan para ahli tidak lebih sebagai bahan perbangdingan, zaman sekarang berbeda dengan zaman mereka dahulu. Karena itu upaya penggalian masalah kependidikan ini tidak boleh terhenti, jika kita sepakat bahwa pendidikan Islam ingin eksis ditengah-tengah percaturan global.
    2. Penyelenggaraan Pendidikan di Gorontalo Utara saat ini sangat memilukan hati jika dilihat dari sisi filsafat islam. dimana seperti yang bapak sering katakan bhw Pendidikan adalah Proses pemanusiaan manusia. namun yang terjadi di Daerah ini adalah Pendidikan tak ubahnya seperti lahan subur bagi para pemimpin yang digerogoti oleh syahwat kekuasaan. Guru-guru yang semestinya mencerdaskan kehidupan bangsa malah saat ini menjadi corong politik, mereka menjadi Pecundang. sebagai contoh, setiap guru dan kepala sekolah menyampaikan kepada orang tua siswa agar memilih RUSLI HABIBI menjadi Gubernur gorontalo, jika tidak maka anak/siswa yang bersangkutan tidak akan naik kelas/tidak akan lulus ujian. ini sangat keterlaluan. menurut saya, solusi terbaik untuk masalah ini adalah Mengganti pengambil kebijakan di daerah ini (BUPATI) dengan pemimpin yang memiliki latar belakang pendidikan yang jelas, pemimpin yang cerdas, dan ceria. dengan demikian penyelenggaraan Pendidikan di Gorontalo Utara akan menjadi baik.
    demikian pendapat saya. wassalam.
    RAHMA BAUSIN.
    NIM : 08102133
    KI / VI . Kwandang.

  2. NONTJE PAKAYA says:

    1. Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri mau merubahnya. ayat ini sangat erat kaitannya degan apa yang bapak jelaskan di atas. Negeri ini harus ada Revolusi terhadap semua sistem.

    2. jika di Gorut ada Program pemerintah tentang peningkatan SDM itu hanya semboyan menurut saya. karena belum sesuai dengan sistem pendidikan Nasional. contohnya masalah anggaran pendidikan tidak mencapai 20% seperti harapan undang-undang. jadi dari hulu sampai ke hilir amburadul soal pendidikan. entahlah….

  3. SUMARNI OTOLUWA says:

    1. Setelah memahami penjelasan bapak diatas maka saya menarik satu kesimpulan bhwa pendidikan tauhid akan tetap menjadi kebutuhan bagi penyelamatan peradaban manusiaan di segala zaman. Termasuk kebutuhan kita dalam menyelamatkan Bangsa Indonesia dari pudarnya nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban yang luhur. Kembali kepada pendidikan tauhid bukan berarti kita akan kembali ke masa lalu dengan mewarisi semua tradisi para nabi utusan Allah secara teknis. Akan tetapi kita mengambil ‘ruh’ serta nilai-nilai esensial dari warisan para nabi tersebut untuk menjadi filosofi dasar dari pendidikan kita hari ini. Al-Qur’an telah mengabadikan para Nabi Allah sebagai contoh teladan yang selayaknya dijadikan sebagai sumber inspirasi bagi ummat Islam hari ini, dalam menggali nilai-nilai filosofis dari pendidikan tauhid itu. Sejarah hidup mereka direkam kembali oleh Al-Qur’an, bukan ceritera kosong pengantar tidur; tetapi memiliki nilai pengajaran yang sangat berharga bagi ummat Islam sepanjang sejarah.

    2. Pendidikan di gorontalo utara sudah baik menurut saya, namun kalau ditinjau dari segi filsafat islam masih banyak yang harus dibenahi.
    SUMARNI OTOLUWA
    Kwandang Smester 6

Leave a comment